
Petulangan menuju Pulau Pamutusan
Oleh : Bung Tanol
Kring! Bunyi telepon masuk dari Iqbal memecah kesunyian malam. “Kita berangkat jam 22.00 WIB, nanti kita sampai pagi di Padang,” kata Iqbal tanpa basa-basi. Jawab saya simpel, “Oke, siap!” tanpa memberi banyak kesempatan untuk berpikir. Kemudian, telepon pun ditutup.
Dalam hitungan menit, saya sudah berada di kamar, mempersiapkan diri. Barang-barang saya kemas dengan cepat, dipastikan masuk semua dalam tas tidak ada yang tertinggal.
Namun, entah kenapa, waktu berjalan begitu cepat. Pukul 22.30 WIB, saya sudah siap, tapi teman-teman yang lain masih belum nongol juga. Perut mulai berbunyi terlambat makan dari siang tadi, sepertinya tubuh mulai protes. Nggak bisa kompromi lagi, akhirnya saya memutuskan untuk makan dulu, meski hanya dengan camilan seadanya.
Detik demi detik berlalu, dan jarum jam akhirnya menunjukkan pukul 01.00 WIB. Belum ada tanda-tanda kedatangan teman-teman. Namun, tiga jam dari pada waktu yang dijanjikan, dua mobil akhirnya merapat di depan markas tempat biasa saya nongkrong.

“Tit tit!” Bunyi klakson yang familiar. Iqbal dan Buya sudah ada di sana, siap menjemput. Tanpa berpikir panjang, saya langsung melangkah ke mobil. Begitu duduk di bangku depan, suasana menjadi lebih serius. Semua siap untuk berangkat, meski mata sudah mulai terasa berat. Tidak ada lagi yang perlu dipikirkan selain perjalanan panjang yang menanti.
Di dalam perjalanan rintihan hujan turun perlahan, menemani perjalanan kami menyusuri jalanan basah. Di dalam mobil, aroma durian tiba-tiba menyeruak harum bagi sebagian orang, namun tidak bagi penumpang di belakang. Wajahnya pucat, napasnya tersengal. Kami pun menepi, membiarkan udara segar masuk sebelum kejadian muntah yang tak terbayangkan benar-benar terjadi.
Akhirnya, kaca ditutup rapat. AC dinyalakan. Perjalanan dilanjutkan dalam senyap, masing-masing larut dalam kantuk yang menggoda dan kami pun terlelap dalam lagu mesin yang mengantar mimpi.
Saat memasuki daerah Bungus, kebingungan justru menyergap. Informasi tujuan tak jelas, GPS berputar-putar, sementara teman yang memberi arahan pun setengah bingung.
Untuk mengisi tenaga, kami berhenti dan menikmati bubur kampiun sebuah sajian yang sudah lama tak disentuh lidah kami. Hangat, manis, dan penuh nostalgia.

Menuju dermaga, kami kembali dibuat pusing. Rute tak pasti, sinyal hilang muncul GPS kembali eror, navigator bengong dan linglung. Namun akhirnya bolak – balik di rute yang sama dengan jalan yang di lewati tanjakan tajam dan curam. Akhir, detik – detik tanda – tanda menuju dermaga mulai mencuat. Tak berselang lama nyampe juga. Parkirkan armada kemasi barang – barang masukan ke kapal titanic ala Pamutusan. Perjalanan Itu kami namai dengan sebuah kapal bermuatan semangat Literasi Bahari siap berlayar membawa kami menembus garis laut.
Kisah Romeo
Selama pelayaran saya bercengkremah dengan seorang pemuda sebut saja ia Romeo. Nama itu saya sematkan karena ia mengajak aku duduk di kepala kapal. Di atas kapal tersebut saya mempraktikan style Romeo tanpa Juliet. Kacau bikin halu aja. Parah nih. Style romeo itu sempat di abadikan juga bro.
Diatas kapal Romeo mencurahkan isi hatinya tentang perjuangan seorang ayahnya dalam mengais nafkah yang berpropesi sebagai nelayan penangkap ikan. Hasil tangkapan ikan tersebut untuk membiayai kehidupan sehari – hari dan pendidikan Romeo. Saat ini ayahnya sudah tidak bisa lagi bekerja sebagai nelayan disebabkan penyakit yang di deritanya. Maka beralih sebagai pengantar turis ke pulau – pulau menggunakan kapal yang dibantu oleh Romeo.

Di dalam perlayaran tersebut Romeo melontarkan curatan hatinya “Dalam sebulan kadang kami hanya dapat 1 kali sewa,” katanya dengan nada lesu.
Tetapi ketika memasuki pergantian tahun “Perayaan Tahun Baru” dan hari – hari besar pada masa – masa itu lah rezeki Romeo panen. Untuk mengobati sebelas bulan berlalu hidup di menantang arus gelombang.
“Bahagia sekali pas tiba hari – hari seperti itu bang. Saatnya sewa yang kami dapatkan membawa berkah dari turis,” lirihnya.
Butuh sekitar 30 menit untuk menembus tenangnya laut menuju Pulau Pamutusan. Setibanya di sana, kami langsung mencari tempat rebahan. Angin sepoi menyentuh kulit, membuat tidur datang tanpa kompromi.

Bangun dengan tubuh segar, kami langsung mandi lalu duduk santai menatap panorama pulau dan deru ombak menghempas bibir pantai sambil menikmati secangkir kopi panas serta hisapan asap sebatang rokok ESSE menjadi teman sempurna untuk memantik mata.
Gempi Minta Dipotoin
Ketika sedang asyik duduk, seorang gadis berhijab berbaju kuning berparas cantik berkacamata hitam mendekat menghampiri kami.
“Minta tolong potoin Gempi, ya Buya,” pintanya dengan nada manja sambil menyerahkan ponsel berlogo apel tergigit. Handphone idaman anak muda masa kini. Potoin Gempi dengan angel eksotis menarik ya,” imbuhnya.

Ternyata, Buya teman perjalanan kami punya bakat terpendam membuka jasa fotografer dadakan di lokasi. Kemampuannya memang tak perlu diragukan. Dengan modal ponsel milik Gempi, ia memotret seolah sudah bertahun – tahun berkarya di dunia fotografer. Buya begitu lihai memilih sudut, PeDe menjepretnya melalui ponsel genggam di tangannya seolah tahu kemana harus menoleh, bagaimana menangkap cahaya, dan tahu persis kapan momen terbaik terjadi.
Selama 45 menit, Gempi menjadi modelnya. Dari ujung dermaga, kembali lagi ke pangkal, setiap langkah Gempi diikuti oleh jepretan lensa seorang fotografer profesional. Pose apa pun yang diberikan, Buya selalu tahu bagaimana mengabadikannya dalam sudut paling eksotis.
Riki Lapor ke Mak
Angin senja berhembus pelan, membawa awan-awan jingga yang perlahan berubah kemerahan, lalu gelap menyusuri langit Pamutusan. Di sepanjang bibir pantai, para nelayan berlalu-lalang bersiap menebar jaring ke tengah laut. Sementara itu, beberapa pengunjung masih asyik bermain pasir dan menari bersama ombak, seakan tak peduli senja yang mulai menghampiri.

Malam itu kami berkumpul, berdiskusi tentang banyak hal. Yang menarik, dari sekian banyaknya rombongan, ternyata ada beberapa yang belum pernah menginjakkan kaki di laut bahkan belum pernah sekalipun datang ke Kota Padang.
Mereka mengaku kedatangan ke Pamutusan jauh di luar ekspektasi. Tempat ini, kata mereka, begitu nyaman, indah, dan dikelilingi lautan sejauh mata memandang. Biasanya, kalau sedang jenuh, pelarian mereka hanya sebatas daerah sekitar kampus.
“Kalau bukan karena kuliah di Ranah Cati Nan Tigo, kami tak akan sampai sejauh ini,” celetuk salah satu dari mereka sambil terkekeh.
Tanpa di sadari Riki langsung memencet telpon genggamnya eeh ternyata beliau menelpon orang tuanya. “Mak kata Riki, sekarang aku di laut,” ucap Riki ditelpon.

Riki lanjutkan pembicaraannya, On kan Cameranya Mak, Riki memutar – memutar hp untuk memberitahu sama Mak nya kalau ia memang berada di laut. Kocak juga saya dengarnya hasil nguping ini.
Mak Riki bilang nanti kamu hanyut nak di laut itu, Riki langsung mmbantah Mak mana bisa hanyut, Riki di Pulau Mak di kelilingi laut,” bantah Riki.
Tak hanya menikmati pemandangan, malam itu kami juga mencicipi hasil tangkapan ikan segar dari Didit. Rasanya luar biasa dibakar langsung di tepi pantai ala masakan Balqis dengan lentik tangannya menggoles bumbu ikan tersebut di atas bara tempurung sambil bercengkerama, membahas ide-ide absurd seperti membuka rumah makan di tengah laut. Riki terus mengipas tanpa henti – henti biar bara tempurungnya tak padam.

Hujan turun tanpa henti, tapi tidak mengurangi semangat kami menjaga bara tempurung tetap menyala untuk menyelesaikan menu spesial ikan bakar malam itu. Ada yang malu-malu mencicipinya, tapi saya memilih menjadi yang pertama langsung gas tanpa ragu.
Canda tak kunjung habis hingga akhirnya mata tertutup sendiri. Kami tertidur di lantai Cafe Pamutusan karena tenda sudah penuh. Siapa cepat, ia dapat.

Namun sekitar pukul empat pagi, angin badai datang tiba-tiba. Tenda bergoyang hebat seperti hendak roboh. Saya yang keasyikan tidur baru sadar ketika hujan mulai membasahi tempat tidur kami. Mau tak mau, kami begadang hingga pukul tujuh pagi sebelum akhirnya bisa terlelap kembali.
Drama Rice Cooker yang Tak Dibawa
Saat bangun, cacing di perut sudah berdemo. Saya cuci muka dan mencari nasi lalu bertemu Nurul Ma’wa yang akrab disapa Wawa di dapur yang sibuk membersihkan peralatan. Saya bertanya ke beliau kenapa nasi ini di dalam kuali.
“Nasi dimasak pakai kuali, Bang,” jawabnya polos.“Wawa pun tak tau ini sudah masak atau belum. Kak Tuti yang tau,” tambahnya tegas.
Usut punya usut, ternyata drama pagi itu berawal dari satu hal, mereka memasak nasi pakai kuali karena rice cooker yang akrab mereka sebut Magic tidak dibawa.

Saya mencari informasi dan bertemu Iqbal. Awalnya ia bercerita santai, tapi tanpa sadar mulutnya keceplosan.
“Ini semua gara-gara Okta. Magic tak dibawa, masa lupa padahal sudah sering di ingatkan. Ini efeknya, Gus Besar langsung ngambek dan minta pulang kemarin, Bang,” ungkapnya.
Didit mengiyakan sambil menambahkan sambil tertawa, “Benar itu. Saya sampai disuruh nelpon kapal buat jemput. Kacau betul kami dibuatnya.”
Untuk menenangkan Gus Besar, mereka akhirnya mengeluarkan Batu Domino dan mengajaknya bermain. Untungnya, trik itu berhasil. Apalagi, hasil tangkapan ikan semalam yang dibakar kembali berhasil meluluh lantakan hatinya.

“Kalau lihat dia makan ikan bakar itu, saya ikut senang,” ujar Didit sambil terbahak-bahak mengingat kejadian itu.
Kapal Titanik Menembus Badai
Awan menggelap di kejauhan, seakan memberi kode bahwa petualangan kami belum selesai. Baru saja kami berkemas dari pantai ketika sebuah kapal muncul, mengayun pelan menuju bibir pasir seolah datang tepat saat cerita butuh babak baru.
Begitu kapal merapat, awaknya melambaikan tangan sambil berseru, “Bang, awan di sana udah gelap. Mumpung masih ada waktu. Kalau terlambat, kita nggak bisa berlayar nanti!” Nada suaranya tegas, tapi matanya ramah campuran antara peringatan dan ajakan untuk segera angkat kaki.

Kami sontak bergerak cepat mengambil barang-barang, menggotong tas dan membawa peralatan menuju kapal. Tapi para ciwi-ciwi? Ah, mereka masih asyik berpose mumpung pantainya lagi cantik-cantiknya. Kamera tetap bekerja meski waktu sudah mau habis.
Teriakan Iqbal akhirnya memecah sesi foto dadakan itu.“Hei! Ayo naik! Anginnya udah mulai gila!” Bagaikan komando, para ciwi-ciwi pun lari mungil menuju kapal, menyudahi hunting foto yang belum tuntas.
Begitu semua perlengkapan masuk dan posisi sudah aman, kapal perlahan bergerak. Kami membelah laut dengan hati riang. Ombak tenang, angin sepoi, dan suara mesin yang menderu halus sempurna untuk penutup perjalanan.

Namun langit punya agenda sendiri.
Awan hitam yang sedari tadi menggulung akhirnya tiba. Angin mendadak kencang. Hujan turun tanpa permisi. Gelombang menghantam lambung kapal, membuat isi kapal mulai basah oleh cipratan air.

Para ciwi-ciwi yang tadi sibuk berpose mengabadikan momen perjalan diatas kapal, berubah pucat antara kaget, takut, dan teringat akan daratan. Angin makin menjadi-jadi. Kapal bergoyang hebat. Beberapa mulai berzikir, beberapa memejamkan mata sambil memegang erat pegangan kapal. Suasana berubah dramatis dalam hitungan menit, seolah kami masuk ke dalam film petualangan laut.
Tapi di tengah kekacauan itu, satu sosok tetap tenang sang nahkoda. Dengan tangan kokoh memegang kemudi dan tatapan yang tak sekalipun goyah, ia membawa kapal menembus badai. Kapal sempat oleng, namun perlahan stabil seperti dituntun oleh pengalaman panjang yang tak terlihat.
Hingga akhirnya…
Pelabuhan tampak dari balik tirai hujan.Kami tiba dengan selamat. Basah, letih, tapi penuh rasa syukur. Perjalanan yang awalnya biasa saja mendadak berubah menjadi cerita yang tak akan kami lupakan.