Oleh: Wengki Purwanto, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Barat

Dalam program televisi Sapa Indonesia Pagi Kompas TV (3/12/2025), Gubernur Sumatera Barat menyebut pemberian izin hak atas tanah oleh Kementerian Kehutanan kepada pihak ketiga menjadi salah satu penyebab banjir dan longsor di Sumatera Barat. Pertanyaan mendasarnya adalah di mana peran dan tanggung jawab Gubernur? Dalam catatan Walhi Sumatera Barat, gubernur dan Menteri Kehutanan merupakan state actor utama yang bertanggung-jawab atas bencana ekologis tersebut. Jangan berebut saling cuci tangan di tengah keGAGALan pemerintah daerah dan pusat yang mengakibatkan hancurnya pranata kehidupan masyarakat akibat bencana ekologis.
Bukankah, Gubernur Sumatera Barat memberi rekomendasi agar hutan beserta kayu-kayunya dibabat atas nama investasi???!!! Jangan sembunyi. Bukankah gubernur juga yang gagal menjaga hutan yang menjadi kewenangannya sehingga hutan dan daerah aliran sungai hancur akibat tambang illegal???!!! Bukankah Pemerintah Sumatera Barat juga terlibat memberikan izin tambang di kawasan rawan bencana? Ayolah, jadilah pemberani dan pikul tanggung jawab!!!
Data berikut setidaknya bisa dilacak oleh publik, dikoreksi, dan juga bisa dilengkapi. Pada Februari 2021, Gubernur Sumatera Barat merekomendasikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (sekarang menteri kehutanan) kawasan hutan seluas ± 43.591 ha di Kabupaten Solok Selatan untuk usaha hasil hutan kayu hutan alam untuk PT Bumi Rangkiang Sejahtera. Ironinya, hutan yang direkomendasikan di dalamnya juga terdapat enam izin perhutanan sosial yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat juga pernah merekomendasikan hutan di pulau kecil Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas ± 25.325,34 ha untuk perusahaan PT Sumber Permata Sipora yang bergerak di bidang usaha hasil hutan kayu hutan alam.
Kurun waktu 1990-2014, seluas ±158.831,4 ha hutan sumatera barat juga diberikan untuk 29 perusahaan besar perkebunan. Sehingga, hamparan hutan berubah menjadi hamparan perkebunan besar kelapa sawit. Belakangan terbukti, sebagian dari perusahaan tersebut telah mengubah hutan untuk kebun sawit secara melawan hukum atau ilegal. Pemerintah Daerah terlibat dalam prosesnya. Jangan mengelak. Selain menimbulkan derita bagi masyarakat, karena hak-haknya tidak direalisasikan sesuai kesepakatan pembangunan kebun dan hidup dalam konflik berkepanjangan. Kini akibat krisis ekologis yang menumpuk, bencana sosial-ekologis terus berulang.
Hingga tahun 2020 saja, setidaknya hutan Sumatera Barat seluas ±183.705 ha dibebani izin untuk dieksploitasi dalam bentuk hasil hutan kayu dari hutan alamnya, seluas 65.432,90 ha untuk hutan tanaman industri. Selain itu, juga tercatat seluas 1.456,54 ha hutan sumatera barat juga diberikan untuk aktifitas tambang. Sementara, akibat tambang emas ilegal kerusakan hutan, lahan dan daerah aliran sungai di 4 Kabupaten saja sudah menyentuh angka 7.662 ha. Menyebar di Kab Solok Selatan seluas 2.939 ha, Kab Solok 1.330 ha, Kab Sijunjung 1.174 ha, dan Kab Dharmasraya 2.179 ha. Belum termasuk kerusakan yang terjadi di Kab Agam, Kab Padang Pariaman, Kab Pasaman, Kab Pasaman Barat dan Kab/Kota lainnya, wilayah kelola masyarakat hancur akibat aktifitas tambang ilegal.
Di Kabupaten Solok, dari 31 titik terindikasi tambang ilegal, 21 diantaranya berada didalam kawasan hutan. Sementara di Kab Sijunjung, dari 116 titik terindikasi tambang ilegal, 41 titik berada didalam kawasan hutan. Dari data, situasi dan kondisi itu semua, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat memiliki kewenangan dan bertanggung-jawab. Pemprov Sumbar sempat akui, 200- 300 titik tambang ilegal di Sumatera Barat telah menimbulkan kerugian hingga 9 triliun rupiah. Saat semua akar dan sumber kerusakan belum dihentikan dan dipulihkan secara baik, tahun 2025 Gubernur Sumatera Barat disebut mengusulkan lahan seluas 17.700 ha yang dibagi menjadi 496 blok sebagai wilayah pertambangan rakyat di 10 Kab di Sumatera Barat. Bukan memulihkan krisisnya, tetapi memperluas skala eksploitasinya.
Perlu diingat, krisis ekologis terjadi dalam waktu yang cukup panjang, terus terakumulasi dari tahun ketahun. Banjir dan longsor hari ini, tidak bisa kita lihat apa yang terjadi hari ini, atau ditahun ini saja, tapi kita lihat apa yang telah terjadi di hutan, daerah aliran sungai dan tata ruang kita dari 1 generasi hingga 2 generasi sebelumnya. Ketidak-adilan ruang dan salahnya sistem pengurusan sumber daya alam, terus mengakumulasi krisis ekologis sepanjang tahun dan lintas generasi, kini interval bencana ekologis semakin rapat dan dampaknya semakin meluas.
Jangan lagi berebut cuci tangan, tetapi berebut untuk bertanggung jawab. Audit lingkungan dan PULIHKAN!!!