(Studi Kasus: Perjalanan Seorang Pembina di Undhari)

Bagi sebagian orang, Pramuka mungkin hanya sekadar seragam coklat tua, coklat muda, baris-berbaris, atau kegiatan kemah dengan tepuk-tepuk tangan dan yel-yel yang riuh. Namun, bagi saya, Pramuka adalah sebuah perjalanan panjang pembentukan jati diri. Lebih dari sekadar ekstrakurikuler, ia adalah sekolah kehidupan yang menempa karakter, membimbing arah, dan menanamkan nilai-nilai luhur yang kelak menjadi fondasi kepemimpinan.

Perjalanan saya bersama Pramuka dimulai sejak bangku sekolah dasar, saat saya menjadi Pramuka Penggalang. Jejak itu terus saya ikuti hingga ke jenjang Penegak dan Pandega. Bahkan, saat menjadi mahasiswa aktif di UKM Pramuka Universitas Negeri Padang (UNP) Racana Dang Tuanku dan Bundo Kanduang, saya dipercaya menjadi pimpinan sangga delegasi Kwarcab Dharmasraya pada Raimuna Nasional di Cibubur tahun 2008. Tak berhenti di situ, pada tahun 2011, sebagai pengurus DKC, saya menjadi pimpinan kontingen Kwarcab Dharmasraya untuk Jambore Nasional di Ogan Komering Ilir Sumatra Selatan. Kini, saya dipercaya mengemban amanah sebagai Pembina di Gugus Depan Dharmasraya yang berpangkalan pada Universitas Dharmas Indonesia (Undhari), Dharmasraya Sumatra Barat. Tak hanya itu, saya juga diamanahkan sebagai Ketua Gudep sekaligus Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan, alumni, dan humas. Amanah ini bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari proses panjang, penuh suka duka, dan perjalanan melelahkan namun membahagiakan.

Saya masih teringat petuah dari salah satu kakak senior saya saat menjadi peserta didik dulu: “to reach the top, we start from the bottom.” nak jadi kapalo jadi kaki dulu.” “Untuk mencapai puncak, harus mulai dari bawah.” Perkataan sederhana itu menancap kuat dalam benak dan menjadi prinsip hidup yang saya pegang teguh. Menjadi Pembina bukanlah soal posisi, melainkan tentang pengabdian. Saya memulai dari bawah, menjadi peserta didik penggalang, penegak, dan pandega, kemudian Pembina Penggalang di SD, lalu Penegak, hingga akhirnya membina Pandega di jenjang kampus.

Banyak kenangan emosional terukir dalam perjalanan ini. Tangis, tawa, kegagalan, dan keberhasilan, semuanya pernah saya alami. Namun, ketika saya melihat peserta didik saya sukses, berubah menjadi lebih baik, serta memiliki karakter dan akhlak yang kuat, di situlah saya merasakan makna sesungguhnya menjadi Pembina. Ini adalah kepuasan batin yang tak tergantikan oleh materi apapun.

Pramuka sebagai Sekolah Kepemimpinan

Pramuka, sebagaimana ditegaskan oleh pendirinya, Lord Baden Powell, adalah gerakan pendidikan nonformal yang bertujuan membentuk karakter dan kepribadian. Beliau pernah berkata, “The real way to gain happiness is to give it to others.” Kalimat ini merangkum esensi kepemimpinan dalam Pramuka: melayani dengan ketulusan. Pendidikan dalam Pramuka tidak hanya menyentuh aspek kognitif, tetapi lebih dalam lagi, ia menyentuh afeksi dan psikomotor peserta didik. Karakter-karakter dasar yang diajarkan dalam Pramuka, seperti takwa, cerdas, jujur, tangguh, dan peduli bukan sekadar slogan. Nilai-nilai ini terwujud dalam setiap kegiatan, setiap tantangan, dan setiap evaluasi. Ketika peserta didik dilatih untuk bertahan di alam, bekerja dalam tim, dan memimpin rekan sebayanya, di situlah pendidikan karakter dijalankan secara nyata dan terinternalisasi.

Selanjutnya, dalam konteks pendidikan abad ke-21, keterampilan utama yang harus dimiliki generasi muda sering dirangkum dalam 4C: creativity, collaboration, communication, dan critical thinking. Menariknya, semua keterampilan ini secara nyata ditanamkan dalam gerakan Pramuka. Dalam kegiatan berkelompok, anak dilatih untuk bekerja sama dan berkomunikasi efektif. Saat menghadapi tantangan, mereka diajak berpikir kritis dan solutif. Sementara dalam merancang kegiatan, mereka didorong untuk berpikir kreatif.

Sejalan dengan pendapat Trilling dan Fadel (2009), pendidikan masa kini tidak cukup hanya dengan pengetahuan, tetapi harus menyiapkan peserta didik untuk hidup, bekerja, dan tumbuh dalam dunia yang terus berubah. Pramuka telah menjawab tantangan ini jauh sebelum istilah “soft skill” populer di dunia pendidikan formal.

Menjadi Pembina: Antara Tantangan dan Kebahagiaan

Perjalanan menjadi Pembina tentu tidak mudah. Ia penuh tantangan, mulai dari manajemen waktu, menghadapi peserta didik yang beragam, hingga merancang kegiatan yang bermakna dan menyenangkan. Namun, di balik semua itu, ada kebahagiaan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Menjadi Pembina berarti menjadi teladan. Kata-kata tidak lagi cukup; perilaku menjadi yang utama. Seorang Pembina harus konsisten menunjukkan integritas, kesabaran, dan semangat pelayanan. Dalam bahasa Ki Hajar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Di depan memberi teladan, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan. Itulah esensi peran seorang Pembina dalam Pramuka.

Saya belajar banyak dari interaksi bersama peserta didik. Setiap anak memiliki latar belakang, kekuatan, dan tantangan masing-masing. Tugas kita sebagai Pembina bukan hanya membina secara teknis, tetapi juga menyentuh sisi psikologis dan moral mereka. Seperti yang disampaikan oleh Jean Piaget, pembelajaran terbaik terjadi ketika anak aktif membangun sendiri pemahaman dan makna. Dalam Pramuka, pendekatan ini diwujudkan melalui sistem among dan learning by doing.

Kepuasan saya sebagai Pembina bukan pada penghargaan atau jabatan, tetapi pada keberhasilan peserta didik. Ketika mereka lulus kuliah dengan karakter yang lebih baik, ketika mereka sukses dalam karier, atau ketika mereka datang kembali dan berkata, “Kak, terima kasih atas bimbingannya dulu,” itu adalah penghargaan sejati yang paling berarti.

Pramuka sebagai Pilar Strategis Kampus dan Kontribusi Nyata

Sebagai Wakil Rektor III bidang kemahasiswaan, saya melihat Pramuka bukan hanya kegiatan pelengkap di kampus, tetapi sebagai pilar strategis pembentukan mahasiswa yang unggul. Di tengah tantangan degradasi moral dan pengaruh negatif media sosial, Pramuka hadir sebagai ruang sehat yang mendidik, membentuk karakter, dan memupuk semangat nasionalisme.

Di Universitas Dharmas Indonesia (Undhari), kami menempatkan Pramuka sebagai Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) unggulan. Melalui pelatihan, kursus pembina, hingga pelaksanaan kegiatan bakti masyarakat, kami terus mendorong mahasiswa untuk terlibat aktif. Dari pengalaman saya, Pramuka justru menjadi tempat berkembangnya para pemimpin mahasiswa. Mereka terlatih berbicara di depan publik, menyusun program, bekerja dalam tim, dan mengelola konflik. Ini adalah laboratorium kepemimpinan nyata (real leadership laboratory).

Sejak tahun 2015, saya secara rutin menggagas dan menggelar Lomba Giat Prestasi Pramuka Penegak SLTA se-Sumatera Barat, Jambi, dan Riau di Gugus Depan Undhari. Acara ini telah menjadi agenda tahunan yang dinantikan. Tak hanya itu, sejak tahun 2023, kami juga rutin menggelar Kursus Mahir Dasar (KMD) bagi mahasiswa FKIP Undhari, sebuah langkah konkret untuk mencetak calon pendidik yang berkarakter Pramuka.

Penelitian oleh Riyadi (2021) menunjukkan bahwa keterlibatan mahasiswa dalam UKM Pramuka memiliki korelasi positif terhadap peningkatan kecerdasan emosional dan kepemimpinan sosial. Artinya, Pramuka bukan hanya mengasah keterampilan praktis, tetapi juga membentuk kepribadian yang utuh.

Penutup: Pramuka, Jalan Hidup yang Saya Pilih

*sumber : sumbarkita.id

Pramuka bukan sekadar kenangan masa kecil. Ia adalah jalan hidup. Dari Pramuka, saya belajar tentang arti pengabdian, pentingnya ketulusan, dan kekuatan karakter. Menjadi peserta didik Pramuka membuat saya tangguh dan tahan uji. Menjadi Pembina Pramuka membuat saya terus belajar dan bertumbuh.

Kini, di usia dewasa, dengan gelar akademik tertinggi dan amanah kepemimpinan di kampus, saya tetap kembali ke akarnya: Pramuka. Ia menjadi taman belajar saya yang tak pernah usang. Ia menjadi ruang berbagi dan ruang menanam benih kebaikan. Saya berharap dapat selalu memajukan dan mengembangkan Pramuka serta mencerdaskan anak bangsa melalui gerakan mulia ini.

Sebagaimana Baden Powell pernah berkata, “Try and leave this world a little better than you found it.” Maka tugas saya sebagai Pembina adalah meninggalkan jejak perubahan, walau kecil, di hati setiap peserta didik. Pramuka telah mengubah hidup saya. Kini, saya berharap Pramuka juga dapat mengubah hidup mereka

Share.
Leave A Reply

Exit mobile version